Senin, 09 Juli 2007

Melirik Sentra Peternakan Jangkrik di Kecamatan Gajah
ADA yang menarik di Desa Wilalung, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak. Warga desa itu tidak menanam buah belimbing atau jambu delima, tetapi justru senang beternak jangkrik. Bahkan, sekitar 70% masyarakat desa itu berbudi daya jangkrik.

"Boleh dikatakan, beternak jangkrik sudah menjadi home industry warga Wilalung. Hampir di setiap sudut desa bisa ditemui warga beternak jangkrik. Yang kami ternak adalah jenis jolondo. Karena tubuhnya cukup besar dibandingkan jenis lain dan lebih mudah diternakkan," kata Khambali, warga yang juga beternak jangkrik di rumahnya.

Jangkrik-jangkrik itu dipelihara dan ditangkarkan dalam kotak-kotak kayu berukuran 1 m X 2 m. Setiap kotak rata-rata berisi 10-15 kilo jangkrik, baik pejantan maupun betina. Jika dikawinkan, perbandingannya jangkrik jantan 10 yang betina 100.

"Dari perkawinan itu biasanya bisa dihasilkan 1,5 ons telur jangkrik," kata Suparmin, peternak yang lain.

Warga sudah pernah melakukan penelitian kecil-kecilan (secara sepintas-Red), jangkrik tak hanya untuk konsumsi burung kicauan. Sebab jangkrik juga menghasilkan tepung untuk ramuan jamu dan farmasi, atau obat-obatan.

Makanan bagi jangkrik itu, menurut mereka, mudah didapat dan tak begitu mahal. Cukup diberi wortel atau gambas, ganyong, irisan bonggol pisang, labu merah, daun pepaya, daun singkong, dan jagung muda. Di lingkungan tropis, jangkrik mampu bertahan hidup dalam suhu antara 30-34 derajat celsius.

Masa Jaya

Harga jangkrik di pasaran saat ini agak lesu. Namun setidaknya, para peternak jangkrik di Desa Wilalung, Gajah, sempat menikmati masa-masa kejayaan, yaitu pada 1998-2001. Saat itu harga jangkrik bisa melambung mencapai Rp 32.000/kg-Rp 35.000/kg. Pangsa pasarnya, yaitu Solo, Jakarta, Semarang, Salatiga, bahkan juga Kalimantan.

Karena bisnis jangkrik cukup menjanjikan, tak mengherankan jika banyak warga Desa Wilalung dan daerah lain, seperti Kudus, Purwodadi, Jepara, dan Pati juga berlomba beternak jangkrik. Akibatnya, pangsa pasarnya mengalami over stock karena kebanyakan pasokan dari berbagai daerah. Hal itu menyebabkan harga jangkrik di pasaran menurun.

Sukamto, salah seorang peternak jangkrik menuturkan, saat ini jumlah peternak jangkrik di wilayahnya tinggal 50%. Padahal, dulu hampir setiap warga dipastikan beternak jangkrik, termasuk di rumah pamong dan perangkat Desa Wilalung. Masyarakat setempat yang sebagian bermata pencaharian tani, juga mencari usaha sampingan yaitu beternak jangkrik.

"Tapi harga jangkrik saat ini agak jatuh. Apalagi, banyak daerah mengembangkan usaha ternak jangkrik secara swadaya. Misalnya, di Purwodadi, Sragen, Wirosari (Blora), Kudus, dan Pati," katanya.

Peternak lain, Roskin (40) mengungkapkan, peternak jangkrik saat ini kesulitan pemasarannya. Sebab di pasaran terjadi persaingan harga antarpedagang jangkrik.

"Dulu, kami mampu mengirim 1 - 1,5 kuintal jangkrik dua kali dalam seminggu. Kota yang dituju yaitu Jepara dan Jogja. Namun sekarang hal itu jarang dilakukan karena banyak orang beternak jangkrik. Paling banter kami mengirim 50 kilo jangkrik dua hari sekali," papar Roskin.

Sugiyono (30), peternak jangkrik Wilalung, mengungkapkan hal senada. Dia mengaku menekuni ternak jangkrik itu baru 1,5 tahun. Awalnya, dia tertarik setelah melihat para tetangganya sukses beternak jangkrik. Namun, dia pun mengakui banyak suka dan duka yang dialami.

"Susah kalau melihat jangkrik banyak mati terkena stres. Biaya, tenaga, dan pikiran yang kami keluarkan pun menjadi sia-sia," tutur Sugiyono.

Penyakit stres yang menyerang jangkrik itu, diakui biasanya terjadi pada musim-musim pancaroba. Pada musim peralihan, yakni penghujan ke musim kemarau, atau sebaliknya menyebabkan iklim dan kondisi jangkrik kurang baik.

"Pernah, kami memelihara tiga kotak (kandang-Red) jangkrik, tapi semua mati gara-gara stres. Padahal, jumlah jangkrik cukup lumayan, sekitar 30 kiloan," ungkap warga. Dia menyatakan, jika telah mati jangkrik segera disingkirkan, ditimbun dalam tanah atau dibakar.

Untuk menopang permodalan, para peternak jangkrik di Desa Wilalung, Gajah memperoleh pinjaman permodalan usaha ekonomi produktif (UEP) dari proyek program pengembangan kecamatan (PPK). Bantuan langsung masyarakat (BLM) itu dengan bunga pinjaman 1,5%. Besarnya pinjaman per kelompok itu bervariasi, sedangkan setiap kelompok minimal harus 10 orang. Sebanyak 37 peternak jangkrik Desa Wilalung menerima pinjaman Rp 47.631.500. Tiap orang rata-rata mendapat pinjaman hibah Bank Dunia itu antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. (Arwan Pursidi-84i)

Tidak ada komentar: